Senin, 20 April 2009

Ambilah Agamanya

Dr. H. Asep S. Muhtadi (Samuh)

(Salah satu pendiri MAHAPEKA)


Dia menelpon saya sekedar ingin berbagi informasi setelah empat bulan berkeluarga. Istrinya, Lisa, ikut berbicara. Nadanya penuh bahagia. Mereka mengabarkan kalau pernikahannya telah membawa bahagia. Keduanya minta doa agar dapat memetik hikmah sakinah, mawaddah dan rahmah. Chaudri yang baru belajar Islam kurang dari setengah tahun itu mulai fasih melafalkan ketiga istilah arab tadi.

Mereka juga berterima kasih atas bantuan yang saya pernah berikan menjelang dan saat dilakukan pernikahan. Orang tua saya meminta saya memberikan khutbah nikah untuk kedua mempelai. Tidak lama setelah menikah, mereka pu meninggalkan Indonesia untuk selanjutnya tinggal di Amerika. Lisa ikut suami yang saat itu dapat pekerjaan di perusahaan teknik informatika. Ketika keduanya pamitan, saya hanya bisa memberi hadiah buku tentang Islam, introduction to Islam. Chaudri yang belum bisa berbahasa Indonesia itu tampak senang menerimanya. Buku ini rupanya yang telah mendorong chaudri terus belajar Islam.

Bahkan, kabarnya, Lisa yangsebelumnya tidak mengenakan busana muslimah, kini mulai berjilbab. Lisa ingin memberi dukungan moril pada suami yang baru mulai belajar Islam. Ketika chaudri makin sering membaca-baca buku tentang Islam, Lisa pun mulai mengenakan jilbab. Chaudri bangga punya istri berjilbab meski harus melawan arus budaya setempat.

Pernikahan Chaudri- Lisa memang tidak sesederhana pasangan pada umumnya. Mereka harus menempuh liku-liku perjalanan panjang menuju pelaminan. Mereka harus menunggu waktu yang tepat. Pasalnya karena Lisa dan Chaudri berbeda agama. Perjalanan panjang harus mereka lalui, hanya karena mereka ingin beragama sama. Agama apapun. Mereka sering berdiskusi, apakah Chaudri ikut agama Lisa atau sebaliknya. Meski merek tidak faham betul apa masalahnya jika mereka menikah dalam status berbeda agama, mereka hanya ingin sama. Hanya itu. Mereka tidak memiliki alasan lebih jauh dari sekedar ingin memiliki visi keluarga yang sama.

Bagi mereka, agama merupakan modal harmoni dalam keluarga. Mereka meyakini hal itu, meskipun keduanya sama-sama tidak mengetahui alasan teologis ataupun ketentuan hukum yang mengikat rencana pernikahan mereka. Mereka memahami bahwa pernikahan merupakan persekutuan dua insan untuk membangun tatanan kehidupan baru, bukan saja antara suami istri, tapi juga buat anak-anak mereka kelak. Mereka membayangkan kalau persekutuan keluarga itu butuh kesamaan-kesamaan, meskipun dengan tetap memelihara perbedaan.

Anak-anak kelak akan ikut larut dalam ruang kehidupan keluarga. Chaudri dan Lisa hanya ingin anak-anak mereka kelak tidak akan menemukan kesulitan ataupun kebingungan ketika harus larut dalam tata nilai yang telah tersedia dalam keluarga. Anaka-anak harus tumbuh dalam kebebasan yang menyenangkan, bukan kebebasan yang membingungkan. Anaka –anak akan terlibat dalam proses tentang pembelajaran tentang nilai-nilai yang sebelumnya telah menjadi anutan kedua orang tuanya.

Dalam proses pergulatan pemikiran inilah perjalan perkawinan Chaudri-lisa melaju dari satu titik menuju titik berikutnya; dari terminal pengembaraan batin yang satu menuju terminal yang lainnya. Tapi perjalanan itu mereka lalui dalam kearifan iman yang mereka yakini. Keduanya tulus melepas ego yang mengikat eklusifisme masing-masing. Keduanya menyadari kalau jalan keluar itu terbuka lebar dalam kelapangan hati dan kejernihan pikiran. Dalam proses tarik menarik inilah, Lisa membisikan harapan pada Yang Maha Kuasa

”Tuhan, aku tidak faham kemestian-kemestian yang harus kulalui tatkala pintu perkawinanku semakin lebar terbuka. Tapi aku berharap kebahagiaan dalam irama rumah tangga sesuai dengan titah dan ajaran-Mu.” sambil terbata-bata harapan itu disampaikan pada saat orang-orang tertidur lelap. Sebisanya dia berdoa, sambil tak henti-hentinya meminta restu orangtua.

Akhirnya Lisa menikah dengan lelaki pilihannya, Chaudri. Lelki berkebangsaan India itu sebelumnya seorang pemeluk agama Hindu. Dia termasuk sosok taat beragama. Perangainya mencerminkan sosok yang terikat pada nilai-nilai luhur: santun, tulus dan penuh apresiasi. Dia tidak menemukan kesulitan ketika keputusan Lisa sudah bulat. Lisa hanya ingin seseorang yang beragama sama. Dia pun yakin kalau keputusan ini adalah jalan terbaik yang haus dilalui.

Beberapa hari sebelum menikah, Chaudri telah terlebih dahulu mengucapkan dua kalimah syahadat sebagai pintu masuk menjadi seorang muslim. Keislamannya merupakan syarat mutlak yang ditetapkan Lisa dan orangtuanya. Sebelumnya, dua kali Chaudri datang ke rumah saya untuk berdiskusi di seputar islam.dia ingi tahu lebih banyak tentang Islam sebelum memutuskan untuk mengikuti keputusan Lisa. Dia ingin lebih yakin. Sebaliknya, saya tidak menggiringnya untuk memeluk Islam. Malah saya mencoba untuk memberi aba-aba yang diperkirakan akan menjadi beban berat yang harus dia hadapi. Tapi niat Chaudri sudah bulat.

Kini mereka bahagia, saling mencintai penuh pengertian. Perbedaan bahasa dan suku bangsa tidak menjadi penghalang untuk merintis kebahagiaan. Keduanya saling memahami kalau perbedaan itu merupakan keniscayaan yang harus dihadapi. Kini mereka menempuh samudra dengan penuh percaya diri. Benar, jika Rasulullah Saw pernah mengisyaratkan,dari sejumlah kriteria pasangan suami-istri, agama merupakan kriteria kunci.

Dikutip dari Tabloid Alhikmah, edisi April 2009/Rabiul Akhir 1423 H

Tidak ada komentar:

Posting Komentar